PSIKOLOGI " RESILIENSI KEHIDUPAN"
Dalam suatu kehidupan
tentu kita memiliki keadaan yang berbeda –beda antara individu dengan individu
lainnya. Kehidupan ini dijalani perlahan-lahan dengan waktu yang terus berjalan
dan tidak bisa di review waktukan. Perhatikan apa langkah ke depan yang harus
dilakukan tanpa mengabaikan segala yang terjadi di sekitar kita, Sebagai
individu selalu observasi segala
dinamika yang terjadi dalam hidup kita baik secara kenyataan, de javu bahkan mimpi perlu kita pikirkan
baik-baik. Individu yang selalu ber-kontemplasi cenderung merenungi keadaan,
selalu memperhatikan risiko takut salah, Terkadang masa lalu selalu menjadi
referensi kedepan tetapi segala tindakan untuk mencegahnya terkadang salah dari
segi Point of view orang lain. Pernahkah kita lihat individu yang terlalu
ambisius, santai, diam bukanlah segalanya, Senang tapi cuek terhadap orang
lain, Pendiam tapi negatif menurut pandangan orang lain, Sinis tapi peduli sama
orang lain dan sebagainya.
Semua itu menurut asumsi penulis berkaitan Resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit (Reivich dan Shatté,2002), Tidak semua individu dapat mengendalikan resiliensi ini, ada 7 kemampuan resiliensi ini, menurut saya paling tidak ada satu atau dua kemampuan yang paling dominan dalam diri individu tersebut. 7 kemampuan resliensi tersebut meliputi:
1. Regulasi Emosi
Menurut Reivich dan Shatté (2002) Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan. Hampir sama dengan Kecerdasan_emosional (EQ) merupakan kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain di sekitarnya. Jika bisa meregulasi emosi dan mengendalikan dirinya apabila sedang kesal,mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah sehingga Masalah dapat segera selesai. Metodologi pengungkapan emosi yang dilakukan individu baik negatif ataupun positif, merupakan suatu hal yang dibutuhkan individu demi meng-konstruktifkan agar lebih dewasa tetapi harus dilakukan dengan tepat.
Reivich dan Shatté (2002) mengemukakan dua hal penting yang terkait dengan regulasi emosi, yaitu ketenangan (calming) dan fokus (focusing). Individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini, dapat membantu meredakan emosi yang ada, memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu dan mengurangi stress.
2. Pengendalian Impuls
Impuls (KBBI): rangsangan atau gerak hati yg timbul dengan tiba-tiba untuk melakukan sesuatu tanpa pertimbangan; dorongan hati. pengendalian impuls sebagai kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang. Individu dengan pengendalian impuls rendah sering mengalami perubahan emosi dengan cepat yang cenderung mengendalikan perilaku dan pikiran mereka. Individu seperti itu seringkali mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan berlaku agresif pada situasi-situasi kecil yang tidak terlalu penting/membesar-besarkan masalah kecil, sehingga lingkungan sosial di sekitarnya merasa kurang nyaman yang berakibat pada munculnya permasalahan dalam hubungan social misalnya bermusuhan seperti sikap kekanak-kanakan, individu tipe ini mungkin adalah pendendam tetapi jika dia memiliki teman curhat yang dipercayainya, individu tersebut menjadi seorang yang terbuka.
3. Optimisme
Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Mereka memiliki harapan pada masa depan dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah hidupnya. Dalam penelitian yang dilakukan, jika dibandingkan dengan individu yang pesimis, individu yang optimis lebih sehat secara fisik, dan lebih jarang mengalami depresi, lebih baik di sekolah, lebih produktif dalam kerja, dan lebih banyak menang dalam olahraga (Reivich & Shatté, 2002). Optimisme mengimplikasikan bahwa individu percaya bahwa ia dapat menangani masalah-masalah yang muncul pada masa yang akan datang (Reivich & Shatté, 2002)
4. Empati
Empati merepresentasikan bahwa individu mampu membaca tanda-tanda psikologis dan emosi dari orang lain. Empati mencerminkan seberapa baik individu mengenali keadaan psikologis dan kebutuhan emosi orang lain (Reivich & Shatté, 2002)[1]. Selain itu, Werner dan Smith (dalam Lewis, 1996) menambahkan bahwa individu yang berempati mampu mendengarkan dan memahami orang lain sehingga ia pun mendatangkan reaksi positif dari lingkungan. Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif (Reivich & Shatté, 2002)[1].
5. Analisis Penyebab Masalah
Seligman (dalam Reivich & Shatté, 2002)[1] mengungkapkan sebuah konsep yang berhubungan erat dengan analisis penyebab masalah yaitu gaya berpikir. Gaya berpikir adalah cara yang biasa digunakan individu untuk menjelaskan sesuatu hal yang baik dan buruk yang terjadi pada dirinya.
Gaya berpikir dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu:
· Personal (saya-bukan saya) individu dengan gaya berpikir ‘saya’ adalah individu yang cenderung menyalahkan diri sendiri atas hal yang tidak berjalan semestinya. Sebaliknya, Individu dengan gaya berpikir ‘bukan saya’, meyakini penjelasan eksternal (di luar diri) atas kesalahan yang terjadi.
· Permanen (selalu-tidak selalu) : individu yang pesimis cenderung berasumsi bahwa suatu kegagalan atau kejadian buruk akan terus berlangsung. Sedangkan individu yang. optimis cenderung berpikir bahwa ia dapat melakukan suatu hal lebih baik pada setiap kesempatan dan memandang kegagalan sebagai ketidakberhasilan sementara.
· Pervasive (semua-tidak semua) : individu dengan gaya berpikir ‘semua’, melihat kemunduran atau kegagalan pada satu area kehidupan ikut menggagalkan area kehidupan lainnya. Individu dengan gaya berpikir ‘tidak semua’, dapat menjelaskan secara rinci penyebab dari masalah yang ia hadapi. Individu yang paling resilien adalah individu yang memiliki fleksibilitas kognisi dan dapat mengidentifikasi seluruh penyebab yang signifikan dalam permasalahan yang mereka hadapi tanpa terperangkap dalam explanatory style tertentu.
6. Efikasi Diri
Reivich dan Shatté (2002) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi dirijuga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil. Menurut Bandura (1994), individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan. Individu tidak merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan yang penuh dengan kemampuan dirinya. Individu ini menurut Bandura (1994) akan cepat menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang ia alami.
Semua itu menurut asumsi penulis berkaitan Resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit (Reivich dan Shatté,2002), Tidak semua individu dapat mengendalikan resiliensi ini, ada 7 kemampuan resiliensi ini, menurut saya paling tidak ada satu atau dua kemampuan yang paling dominan dalam diri individu tersebut. 7 kemampuan resliensi tersebut meliputi:
1. Regulasi Emosi
Menurut Reivich dan Shatté (2002) Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan. Hampir sama dengan Kecerdasan_emosional (EQ) merupakan kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain di sekitarnya. Jika bisa meregulasi emosi dan mengendalikan dirinya apabila sedang kesal,mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah sehingga Masalah dapat segera selesai. Metodologi pengungkapan emosi yang dilakukan individu baik negatif ataupun positif, merupakan suatu hal yang dibutuhkan individu demi meng-konstruktifkan agar lebih dewasa tetapi harus dilakukan dengan tepat.
Reivich dan Shatté (2002) mengemukakan dua hal penting yang terkait dengan regulasi emosi, yaitu ketenangan (calming) dan fokus (focusing). Individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini, dapat membantu meredakan emosi yang ada, memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu dan mengurangi stress.
2. Pengendalian Impuls
Impuls (KBBI): rangsangan atau gerak hati yg timbul dengan tiba-tiba untuk melakukan sesuatu tanpa pertimbangan; dorongan hati. pengendalian impuls sebagai kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang. Individu dengan pengendalian impuls rendah sering mengalami perubahan emosi dengan cepat yang cenderung mengendalikan perilaku dan pikiran mereka. Individu seperti itu seringkali mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan berlaku agresif pada situasi-situasi kecil yang tidak terlalu penting/membesar-besarkan masalah kecil, sehingga lingkungan sosial di sekitarnya merasa kurang nyaman yang berakibat pada munculnya permasalahan dalam hubungan social misalnya bermusuhan seperti sikap kekanak-kanakan, individu tipe ini mungkin adalah pendendam tetapi jika dia memiliki teman curhat yang dipercayainya, individu tersebut menjadi seorang yang terbuka.
3. Optimisme
Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Mereka memiliki harapan pada masa depan dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah hidupnya. Dalam penelitian yang dilakukan, jika dibandingkan dengan individu yang pesimis, individu yang optimis lebih sehat secara fisik, dan lebih jarang mengalami depresi, lebih baik di sekolah, lebih produktif dalam kerja, dan lebih banyak menang dalam olahraga (Reivich & Shatté, 2002). Optimisme mengimplikasikan bahwa individu percaya bahwa ia dapat menangani masalah-masalah yang muncul pada masa yang akan datang (Reivich & Shatté, 2002)
4. Empati
Empati merepresentasikan bahwa individu mampu membaca tanda-tanda psikologis dan emosi dari orang lain. Empati mencerminkan seberapa baik individu mengenali keadaan psikologis dan kebutuhan emosi orang lain (Reivich & Shatté, 2002)[1]. Selain itu, Werner dan Smith (dalam Lewis, 1996) menambahkan bahwa individu yang berempati mampu mendengarkan dan memahami orang lain sehingga ia pun mendatangkan reaksi positif dari lingkungan. Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif (Reivich & Shatté, 2002)[1].
5. Analisis Penyebab Masalah
Seligman (dalam Reivich & Shatté, 2002)[1] mengungkapkan sebuah konsep yang berhubungan erat dengan analisis penyebab masalah yaitu gaya berpikir. Gaya berpikir adalah cara yang biasa digunakan individu untuk menjelaskan sesuatu hal yang baik dan buruk yang terjadi pada dirinya.
Gaya berpikir dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu:
· Personal (saya-bukan saya) individu dengan gaya berpikir ‘saya’ adalah individu yang cenderung menyalahkan diri sendiri atas hal yang tidak berjalan semestinya. Sebaliknya, Individu dengan gaya berpikir ‘bukan saya’, meyakini penjelasan eksternal (di luar diri) atas kesalahan yang terjadi.
· Permanen (selalu-tidak selalu) : individu yang pesimis cenderung berasumsi bahwa suatu kegagalan atau kejadian buruk akan terus berlangsung. Sedangkan individu yang. optimis cenderung berpikir bahwa ia dapat melakukan suatu hal lebih baik pada setiap kesempatan dan memandang kegagalan sebagai ketidakberhasilan sementara.
· Pervasive (semua-tidak semua) : individu dengan gaya berpikir ‘semua’, melihat kemunduran atau kegagalan pada satu area kehidupan ikut menggagalkan area kehidupan lainnya. Individu dengan gaya berpikir ‘tidak semua’, dapat menjelaskan secara rinci penyebab dari masalah yang ia hadapi. Individu yang paling resilien adalah individu yang memiliki fleksibilitas kognisi dan dapat mengidentifikasi seluruh penyebab yang signifikan dalam permasalahan yang mereka hadapi tanpa terperangkap dalam explanatory style tertentu.
6. Efikasi Diri
Reivich dan Shatté (2002) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi dirijuga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil. Menurut Bandura (1994), individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan. Individu tidak merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan yang penuh dengan kemampuan dirinya. Individu ini menurut Bandura (1994) akan cepat menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang ia alami.
7. Peningkatan aspek positif
Menurut Reivich dan Shatté (2002)[1], resiliensi merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup. Individu yang meningkatkan aspek positif dalam hidup, mampu melakukan dua aspek ini dengan baik, yaitu: (1) mampu membedakan risiko yang realistis dan tidak realistis, (2) memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu melihat gambaran besar dari kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi (Reivich dan Shatte, 2002)
Tidak ada komentar