A N D Y M A R B U N

Eksibisi Perspektif Kritis dalam Resiliensi Kehidupan

Trending Topic

Berdamai Dengan Alam (Ekologi)


 

    Para filsuf Yunani kuno sebelum Socrates berpandangan bahwa alam semesta adalah sumber kebajikan. Semua yang dibutuhkan manusia sudah disediakan oleh alam. Dengan demikian, jika manusia ingin memperoleh keutamaan hidup, manusia dianjurkan untuk berdamai dan meniru perilaku alam semesta ini. Meskipun pengetahuan manusia tentang alam semesta masih sangat terbatas, justru dalam keterbatasannya itu manusia menjadi santun dan hormat pada alam.

       Pandangan kosmosentrisme ini secara perlahan digantikan oleh antroposentrisme yang dibangun oleh Socrates, bahwa ukuran kebaikan dan kebenaran itu terletak pada akal budi manusia. Paham antroposentrisme ini dikembangkan lebih jauh lagi oleh Plato dan Aristoteles meskipun keduanya masih tetap menjadikan alam semesta sebagai kitab yang terbuka yang selalu mengajarkan kebajikan.
Paradigma antroposentrisme sekuler yang menjadikan intelektualitas manusia sebagai puncak ukuran kebenaran sehingga secara sistemik masyarakat modern telah menghancurkan habitatnya sendiri. Alam dengan seenaknya dieksploitasi secara besar-besaran tanpa memperhatikan dampak dan efek kedepannya. Gunung dihancurkan dengan berbagai metode, baik melalui pengeboman ataupun digali menggunakan alat berat.
          Pola pemikiran mengobjekan Alam merupakan cara manusia dalam memikirkan bagaimana menjadi pengamat dan penggarap alam. Akibatnya alam hanya menjadi objek eksploitasi manusia. Manusia hanya menjadikan dirinya sebagai pemanfaat atau pengguna mahluk ciptaan. Pemahaman seperti ini merupakan sumber krisis ekologi dewasa akibatnya manusia sendiri berupa bencana alam (banjir, tanah longsor,kebakaran hutan,kekurangan air bersih  dan sebagainya). Sehingga keseimbangan Antara manusia dengan Alam perlu di kuatkan.
            Ada beberapa prospek tentang berdamai dengan alam menurut Dasar Teologis Etika Lingkungan:
1. Kesatuan Manusia dengan Alam
Alkitab menggambarkan kesatuan manusia dengan alam dalam cerita tentang penciptaan manusia: "Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah" (Kej. 2:7), seperti Ia juga "membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara" (Kej. 2:19). Dalam bahasa Ibrani, manusia disebut "adam". Nama itu memunyai akar yang sama dengan kata untuk tanah, "adamah", yang berarti warna merah kecokelatan yang mengungkapkan warna kulit manusia dan warna tanah. Dalam bahasa Latin, manusia disebut "homo", yang juga memunyai makna yang berkaitan dengan "humus", yaitu tanah. Dalam artian itu, tanah yang biasa diartikan dengan bumi, memunyai hubungan lipat tiga yang kait-mengait dengan manusia: manusia diciptakan dari tanah (Kej. 2:7; 3:19, 23), ia harus hidup dari menggarap tanah (Kej. 3:23), dan ia pasti akan kembali kepada tanah (Kej. 3:19; Maz. 90:3). Di sini nyata bahwa manusia dan alam (lingkungan hidup) hidup saling bergantung -- sesuai dengan hukum ekosistem. Karena itu, kalau manusia merusak alam, maka secara otomatis berarti ia juga merusak dirinya sendiri.

2. Kepemimpinan Manusia Atas Alam
Walaupun manusia dengan alam saling bergantung, Alkitab juga mencatat dengan jelas adanya perbedaan manusia dengan unsur-unsur alam yang lain. Hanya manusia yang diciptakan segambar dengan Allah dan yang diberikan kuasa untuk menguasai dan menaklukkan bumi dengan seluruh ciptaan yang lain (Kej. 2:26-28), dan untuk mengelola dan memelihara lingkungan hidupnya (Kej. 2:15). Jadi, manusia memunyai kuasa yang lebih besar daripada makhluk yang lain. Ia dinobatkan menjadi "raja" di bumi yang dimahkotai kemuliaan dan hormat (Maz. 8:6). Ia menjadi wakil Allah yang memerintah atas nama Allah terhadap makhluk-makhluk yang lain. Ia hidup di dunia sebagai duta Allah. Ia adalah citra, maka ia ditunjuk menjadi mitra Allah. Karena ia menjadi wakil dan mitra Allah, maka kekuasaan manusia adalah kekuasaan perwakilan dan perwalian. Kekuasaan itu adalah kekuasaan yang terbatas dan yang harus dipertanggungjawabkan kepada pemberi kuasa, yaitu Allah. Itu sebabnya manusia tidak boleh sewenang-wenang terhadap alam. Ia tidak boleh menjadi "raja lalim". Kekuasaan manusia adalah kekuasaan "care-taker". Maka sebaiknya manusia memberlakukan secara seimbang, artinya pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber alam diimbangi dengan usaha pemeliharaan atau pelestarian alam.
Kata "mengelola" dalam Kejadian 2:15, digunakan istilah Ibrani "abudah", yang sama maknanya dengan kata ibadah dan mengabdi. Maka manusia sebagai citra Allah seharusnya memanfaatkan alam sebagai bagian dari ibadah dan pengabdiannya kepada Allah. Dengan kata lain, penguasaan atas alam seharusnya dijalankan secara bertanggung jawab: memanfaatkan sambil menjaga dan memelihara. Ibadah yang sejati adalah melakukan apa saja yang merupakan kehendak Allah dalam hidup manusia, termasuk hal mengelola ("abudah") dan memelihara ("samar") lingkungan hidup yang dipercayakan kekuasaan atau kepemimpinannya pada manusia.
3. Kegagalan Manusia Memelihara Alam
Alkitab mencatat secara khusus adanya "keinginan" dalam diri manusia untuk menjadi sama seperti Allah dan karena keinginan itu ia "melanggar" amanat Allah (Kej. 3:5-6). Tindakan melanggar amanat Allah membawa dampak bukan hanya rusaknya hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga dengan sesamanya dan dengan alam. Manusia menghadapi alam tidak lagi dalam konteks "sesama ciptaan", tetapi mengarah pada hubungan "tuan dengan miliknya". Manusia memperlakukan alam sebagai objek yang semata-mata berguna untuk dimiliki dan dikonsumsi. Alam diperhatikan hanya dalam konteks kegunaan (utilistik-materialistik). Manusia hanya memerhatikan tugas menguasai, tetapi tidak memerhatikan tugas memelihara. Dengan demikian, manusia gagal melaksanakan tugas kepemimpinannya atas alam.
4. Hubungan Baru Manusia-Alam
Alkitab, khususnya Perjanjian Baru, mencatat bahwa Allah yang Mahakasih mengasihi dunia ciptaan-Nya (kosmos) sehingga Ia mengutus anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, yaitu Tuhan Yesus Kristus (Yoh. 3:16). Tuhan Yesus Kristus yang disebut Firman (logos) penciptaan (Kol. 1:15-17; Yoh. 1:3, 10a) telah berinkarnasi (mengambil bentuk materi dengan menjelma menjadi manusia: Yoh. 1:1, 14); dan melalui pengorbanan-Nya di atas kayu salib serta kebangkitan-Nya dari antara orang mati, Ia telah mendamaikan Allah dengan segala sesuatu (ta panta) atau dunia (kosmos) ini (Kol. 1:19- 20; 2 Kor. 5:18-19). Tuhan Yesus telah memulihkan hubungan Allah dengan manusia dan dengan seluruh ciptaan-Nya dan memulihkan hubungan manusia dengan alam. Atas dasar itu, maka hubungan harmonis dalam Eden (Firdaus) telah dipulihkan.
2 POKOK PIKIRAN UTAMA DALAM PARADIGMA BARU MACY (buku Moral lingkungan hidup (2001)
            1.      Deep Ecology
Apakah itu deep ecology?
 Deep Ecology sendiri berarti kesadaran mendalam dalam mengatur hidup selaras dengan alam sebagai sebuah kesatuan dalam arti luas.
Krisis lingkungan dapat diatasi secara optimal dengan melakukan perubahan fundamental pada cara pandang dan perilaku manusia. Berkait dengan hal tersebut Joanna Macy (dalam Chang, W, 2001, 77 – 81) mengusulkan paradigma baru dalam lingkungan hidup yang mengandung dua pokok pikiran utama yaitu deep ecology dan penghijauan diri.
Dalam deep ecology, keberadaan manusia lebih dilihat dalam hubungan / kesatuannya dengan lingkungan. Dalam hal ini organisme lebih dilihat sebagai bagian yang terdapat didalam jaringan biosphere. Berkait dengan hal ini Devall mengatakan bahwa : “manusia tidak berada diatas atau diluar alam….. tetapi…... menjadi bagiannya”. Dengan demikian deep ecology merubah pandangan anthropocentric menjadi non anthropocentric.
                                                  
Delapan prinsip dasar deep ecology (Sessions, 1995) adalah sebagai berikut :
v  Keberadaan dan perkembangan kehidupan manusia dan benda-benda lain diluar manusia mempunyai nilai sendiri-sendiri yang tidak berkait dengan asas manfaatnya bagi manusia.
v  Kekayaan dan keberagaman bentuk-bentuk kehidupan akan mendukung realisasi dari nilai-nilai tersebut diatas
v  Manusia tidak mempunyai hak untuk mengurangi kekayaan dan keberagaman bentuk-bentuk kehidupan tersebut, kecuali untuk memenuhi kebutuhan yang vital.
v  Perkembangan kehidupan manusia dan budayanya harus dapat diterima secara substansial dalam populasi manusia yang lebih kecil. Perkembangan kehidupan diluar manusia membutuhkan dukungan populasi manusia juga.
v  Gangguan keberadaan manusia kepada kehidupan diluar manusia semakin lama akan makin memburuk.
v  Berdasarkan kondisi tersebut, maka kebijakan / ideologi harus diubah tidak lagi didasarkan pada struktur ekonomi dan teknologi.
v  Perubahan ideology yang terutama adalah “menghargai kualitas hidup”, bukan sekedar menaikkan standar kehidupan.
v  Siapapun mempunyai kewajiban untuk segera melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup.

  1.   2.      Penghijauan Diri

Untuk menjalankan prinsip-prinsip dasar tersebut diperlukan adanya proses penghijauan diri dalam diri manusia. Dalam proses ini identitas diri manusia berubah. Manusia bukan lagi mahluk yang hanya memikirkan keperluan dan kepentingan diri, melainkan mulai membuka diri dan menyelami kedalaman mahluk ciptaan lain. Dalam diri manusia terjadi proses transformasi rohani yang memperbaharui manusia, muncul saling keterkaitan yang mendalam antara manusia dengan semua jenis mahluk hidup. Manusia memiliki dan menunjukkan kesetiakawanan dengan ciptaan lain nonmanusia. Hasil dari proses penghijauan diri manusia adalah penghormatan dan tidak melakukan pelanggaran terhadap hak asasi alam. Keraf (2002, 115 – 120) menganalogkan hak asasi alam dengan hak asasi manusia. Manusia mempunyai tiga hak asasi yaitu : hak atas hidup, hak atas kebebasan, dan hak artifisial (hak atas milik pribadi). Demikian pula alam mempunyai hak untuk tidak dirusak dan dicemari. Alam mempunyai hak untuk tidak dibatasi dan dihambat perkembangan, pertumbuhan, dan kehidupannya.
Agar mencapai titik keseimbangan antara keduanya, manusia harus menyadari bahwa alam(ekologi) adalah “Partner Kehidupan” Sehingga mengembangkan hubungan yang damai antara Manusia Dengan Alam.

Tidak ada komentar