Berdamai Dengan Alam (Ekologi)
Para filsuf Yunani kuno sebelum
Socrates berpandangan bahwa alam semesta adalah sumber kebajikan. Semua yang
dibutuhkan manusia sudah disediakan oleh alam. Dengan demikian, jika manusia
ingin memperoleh keutamaan hidup, manusia dianjurkan untuk berdamai dan meniru
perilaku alam semesta ini. Meskipun pengetahuan manusia tentang alam semesta
masih sangat terbatas, justru dalam keterbatasannya itu manusia menjadi santun
dan hormat pada alam.
Pandangan kosmosentrisme ini secara
perlahan digantikan oleh antroposentrisme yang dibangun oleh Socrates, bahwa
ukuran kebaikan dan kebenaran itu terletak pada akal budi manusia. Paham
antroposentrisme ini dikembangkan lebih jauh lagi oleh Plato dan Aristoteles
meskipun keduanya masih tetap menjadikan alam semesta sebagai kitab yang
terbuka yang selalu mengajarkan kebajikan.
Paradigma antroposentrisme sekuler
yang menjadikan intelektualitas manusia sebagai puncak ukuran kebenaran
sehingga secara sistemik masyarakat modern telah menghancurkan habitatnya
sendiri. Alam dengan seenaknya dieksploitasi secara besar-besaran tanpa memperhatikan
dampak dan efek kedepannya. Gunung dihancurkan dengan berbagai metode, baik
melalui pengeboman ataupun digali menggunakan alat berat.
Pola pemikiran mengobjekan Alam merupakan cara manusia dalam memikirkan
bagaimana menjadi pengamat dan penggarap alam. Akibatnya alam hanya menjadi
objek eksploitasi manusia. Manusia hanya menjadikan dirinya sebagai pemanfaat
atau pengguna mahluk ciptaan. Pemahaman seperti ini merupakan sumber krisis
ekologi dewasa akibatnya manusia sendiri berupa bencana alam (banjir, tanah
longsor,kebakaran hutan,kekurangan air bersih
dan sebagainya). Sehingga keseimbangan Antara manusia dengan Alam perlu
di kuatkan.
Ada beberapa prospek tentang
berdamai dengan alam menurut Dasar Teologis Etika Lingkungan:
1. Kesatuan
Manusia dengan Alam
Alkitab menggambarkan kesatuan
manusia dengan alam dalam cerita tentang penciptaan manusia: "Tuhan Allah
membentuk manusia itu dari debu tanah" (Kej. 2:7), seperti Ia juga
"membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara"
(Kej. 2:19). Dalam bahasa Ibrani, manusia disebut "adam". Nama itu
memunyai akar yang sama dengan kata untuk tanah, "adamah", yang
berarti warna merah kecokelatan yang mengungkapkan warna kulit manusia dan
warna tanah. Dalam bahasa Latin, manusia disebut "homo", yang juga
memunyai makna yang berkaitan dengan "humus", yaitu tanah. Dalam
artian itu, tanah yang biasa diartikan dengan bumi, memunyai hubungan lipat
tiga yang kait-mengait dengan manusia: manusia diciptakan dari tanah (Kej. 2:7;
3:19, 23), ia harus hidup dari menggarap tanah (Kej. 3:23), dan ia pasti akan
kembali kepada tanah (Kej. 3:19; Maz. 90:3). Di sini nyata bahwa manusia dan
alam (lingkungan hidup) hidup saling bergantung -- sesuai dengan hukum
ekosistem. Karena itu, kalau manusia merusak alam, maka secara otomatis berarti
ia juga merusak dirinya sendiri.
2. Kepemimpinan
Manusia Atas Alam
Walaupun manusia dengan alam saling
bergantung, Alkitab juga mencatat dengan jelas adanya perbedaan manusia dengan
unsur-unsur alam yang lain. Hanya manusia yang diciptakan segambar dengan Allah
dan yang diberikan kuasa untuk menguasai dan menaklukkan bumi dengan seluruh
ciptaan yang lain (Kej. 2:26-28), dan untuk mengelola dan memelihara lingkungan
hidupnya (Kej. 2:15). Jadi, manusia memunyai kuasa yang lebih besar daripada
makhluk yang lain. Ia dinobatkan menjadi "raja" di bumi yang
dimahkotai kemuliaan dan hormat (Maz. 8:6). Ia menjadi wakil Allah yang
memerintah atas nama Allah terhadap makhluk-makhluk yang lain. Ia hidup di
dunia sebagai duta Allah. Ia adalah citra, maka ia ditunjuk menjadi mitra
Allah. Karena ia menjadi wakil dan mitra Allah, maka kekuasaan manusia adalah
kekuasaan perwakilan dan perwalian. Kekuasaan itu adalah kekuasaan yang
terbatas dan yang harus dipertanggungjawabkan kepada pemberi kuasa, yaitu
Allah. Itu sebabnya manusia tidak boleh sewenang-wenang terhadap alam. Ia tidak
boleh menjadi "raja lalim". Kekuasaan manusia adalah kekuasaan
"care-taker". Maka sebaiknya manusia memberlakukan secara seimbang,
artinya pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber alam diimbangi dengan usaha
pemeliharaan atau pelestarian alam.
Kata "mengelola" dalam
Kejadian 2:15, digunakan istilah Ibrani "abudah", yang sama maknanya
dengan kata ibadah dan mengabdi. Maka manusia sebagai citra Allah seharusnya
memanfaatkan alam sebagai bagian dari ibadah dan pengabdiannya kepada Allah.
Dengan kata lain, penguasaan atas alam seharusnya dijalankan secara bertanggung
jawab: memanfaatkan sambil menjaga dan memelihara. Ibadah yang sejati adalah
melakukan apa saja yang merupakan kehendak Allah dalam hidup manusia, termasuk
hal mengelola ("abudah") dan memelihara ("samar")
lingkungan hidup yang dipercayakan kekuasaan atau kepemimpinannya pada manusia.
3. Kegagalan Manusia Memelihara
Alam
Alkitab mencatat secara khusus
adanya "keinginan" dalam diri manusia untuk menjadi sama seperti
Allah dan karena keinginan itu ia "melanggar" amanat Allah (Kej.
3:5-6). Tindakan melanggar amanat Allah membawa dampak bukan hanya rusaknya
hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga dengan sesamanya dan dengan alam.
Manusia menghadapi alam tidak lagi dalam konteks "sesama ciptaan",
tetapi mengarah pada hubungan "tuan dengan miliknya". Manusia
memperlakukan alam sebagai objek yang semata-mata berguna untuk dimiliki dan
dikonsumsi. Alam diperhatikan hanya dalam konteks kegunaan
(utilistik-materialistik). Manusia hanya memerhatikan tugas menguasai, tetapi
tidak memerhatikan tugas memelihara. Dengan demikian, manusia gagal
melaksanakan tugas kepemimpinannya atas alam.
4. Hubungan Baru Manusia-Alam
Alkitab, khususnya Perjanjian Baru,
mencatat bahwa Allah yang Mahakasih mengasihi dunia ciptaan-Nya (kosmos)
sehingga Ia mengutus anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, yaitu Tuhan Yesus
Kristus (Yoh. 3:16). Tuhan Yesus Kristus yang disebut Firman (logos) penciptaan
(Kol. 1:15-17; Yoh. 1:3, 10a) telah berinkarnasi (mengambil bentuk materi
dengan menjelma menjadi manusia: Yoh. 1:1, 14); dan melalui pengorbanan-Nya di
atas kayu salib serta kebangkitan-Nya dari antara orang mati, Ia telah
mendamaikan Allah dengan segala sesuatu (ta panta) atau dunia (kosmos) ini
(Kol. 1:19- 20; 2 Kor. 5:18-19). Tuhan Yesus telah memulihkan hubungan Allah
dengan manusia dan dengan seluruh ciptaan-Nya dan memulihkan hubungan manusia
dengan alam. Atas dasar itu, maka hubungan harmonis dalam Eden (Firdaus) telah
dipulihkan.
2 POKOK PIKIRAN
UTAMA DALAM PARADIGMA
BARU MACY (buku Moral lingkungan hidup (2001)
1.
Deep Ecology
Apakah itu
deep ecology?
Deep
Ecology sendiri berarti kesadaran mendalam dalam mengatur hidup selaras
dengan alam sebagai sebuah kesatuan dalam arti luas.
Krisis lingkungan dapat diatasi secara optimal dengan melakukan perubahan
fundamental pada cara pandang dan perilaku manusia. Berkait dengan hal tersebut
Joanna Macy (dalam Chang, W, 2001, 77 – 81) mengusulkan paradigma baru dalam
lingkungan hidup yang mengandung dua pokok pikiran utama yaitu deep ecology
dan penghijauan diri.
Dalam deep ecology, keberadaan manusia lebih dilihat dalam hubungan
/ kesatuannya dengan lingkungan. Dalam hal ini organisme lebih dilihat sebagai
bagian yang terdapat didalam jaringan biosphere. Berkait dengan hal ini Devall
mengatakan bahwa : “manusia tidak berada diatas atau diluar alam….. tetapi…...
menjadi bagiannya”. Dengan demikian deep ecology merubah pandangan anthropocentric
menjadi non anthropocentric.
Delapan prinsip dasar deep ecology (Sessions, 1995)
adalah sebagai berikut :
v Keberadaan dan perkembangan kehidupan manusia dan
benda-benda lain diluar manusia mempunyai nilai sendiri-sendiri yang tidak
berkait dengan asas manfaatnya bagi manusia.
v Kekayaan dan keberagaman bentuk-bentuk kehidupan akan mendukung realisasi
dari nilai-nilai tersebut diatas
v Manusia tidak mempunyai hak untuk mengurangi kekayaan dan keberagaman
bentuk-bentuk kehidupan tersebut, kecuali untuk memenuhi kebutuhan yang vital.
v Perkembangan kehidupan manusia dan budayanya harus dapat diterima secara
substansial dalam populasi manusia yang lebih kecil. Perkembangan kehidupan diluar manusia membutuhkan dukungan populasi
manusia juga.
v Gangguan keberadaan manusia kepada kehidupan diluar
manusia semakin lama akan makin memburuk.
v Berdasarkan kondisi tersebut, maka kebijakan / ideologi harus diubah tidak
lagi didasarkan pada struktur ekonomi dan teknologi.
v Perubahan ideology yang terutama adalah “menghargai kualitas hidup”, bukan
sekedar menaikkan standar kehidupan.
v Siapapun mempunyai kewajiban untuk segera melakukan perubahan-perubahan
yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup.
- 2. Penghijauan Diri
Untuk menjalankan prinsip-prinsip
dasar tersebut diperlukan adanya proses penghijauan diri dalam diri
manusia. Dalam proses ini identitas diri manusia berubah. Manusia bukan lagi
mahluk yang hanya memikirkan keperluan dan kepentingan diri, melainkan mulai
membuka diri dan menyelami kedalaman mahluk ciptaan lain. Dalam diri manusia
terjadi proses transformasi rohani yang memperbaharui manusia, muncul saling
keterkaitan yang mendalam antara manusia dengan semua jenis mahluk hidup.
Manusia memiliki dan menunjukkan kesetiakawanan dengan ciptaan lain nonmanusia.
Hasil dari proses penghijauan diri manusia adalah penghormatan dan
tidak melakukan pelanggaran terhadap hak asasi alam. Keraf (2002, 115 –
120) menganalogkan hak asasi alam dengan hak asasi manusia. Manusia mempunyai
tiga hak asasi yaitu : hak atas hidup, hak atas kebebasan, dan hak artifisial (hak
atas milik pribadi). Demikian pula alam mempunyai hak untuk tidak dirusak dan
dicemari. Alam mempunyai hak untuk tidak dibatasi dan dihambat perkembangan,
pertumbuhan, dan kehidupannya.
Agar
mencapai titik keseimbangan antara keduanya, manusia harus menyadari bahwa
alam(ekologi) adalah “Partner Kehidupan” Sehingga mengembangkan hubungan yang
damai antara Manusia Dengan Alam.
Tidak ada komentar